Puisi Kontemporer

Posted by Misbahul Munir on Saturday 10 November 2012

Puisi kontemporer dipelopori oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Menurut Sutardji, dalam puisi kontemporer yang dipentingkan bentuk fisik (bunyi). Beliau ingin mengembalikan puisi pada mantra. Dalam puisi yang ditulisnya, beliau menyajikan ulangan kata, frasa, dan bunyi yang menjadi kekuatan puisinya. Puisi-puisi Sutardji diterbitkan dalam bukunya yang berjudul O, Amuk, Kapak.

Di
Betul
kau pasti
sedang menghitung
berapa nasib lagi tinggal
sebelum fajar terakhir kau tutup
tanpa seorangpun tahu siapa kau dan
di
Kau
Maka kini
lengkaplah sudah
perhitungan di luar akal
tentang sesuatu yang tak bisa siapapun
menerangkan kata pada saat itu kau mungkin sedang
di
Betul
kan
?
74
Karya: Noorca Marendra
Apa yang menarik dari puisi tersebut menurut Anda?
Puisi tersebut termasuk jenis puisi kontemporer. Yang paling menonjol dari puisi kontemporer adalah tingkat tipografinya. Puisi kontemporer tidak mementingkan tipografi yang konvensional seperti puisi lama atau puisi baru. Puisi kontemporer lebih mementingkan bentuk grafis atau fisik untuk mengungkapkan perasaan penyairnya. Penyair menata kata-kata sedemikian rupa untuk menimbulkan bunyi yang indah. Demi tujuan tersebut, penyair kadang-kadang membalikkan kata-kata yang mengaburkan makna. Hal itu terjadi juga pada puisi karya Noorca Marendra di atas. Sebetulnya kata-kata yang digunakannya kata-kata dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi, pemenggalan beberapa kata yang tidak sesuai aturan membuat kabur arti kata-kata tersebut. Akibatnya, makna puisi itu pun menjadi tidak jelas.
Adapun ciri-ciri puisi kontemporer sebagai berikut.
1. Bentuk fisiknya atau tipografinya tidak beraturan.
2. Kata-kata disusun secara acak sesuai dengan tipografi yang diinginkan penyair.
3. Sebagian penyair menganggap makna dalam puisi kontemporer tidak diutamakan. Yang diutamakan bentuk fisiknya.
4. Sebagian penyair masih tetap mengutamakan makna puisinya, tetapi disajikan dengan tipografi bebas.
 
Walaupun tidak mengutamakan makna, puisi kontemporer masih diikat dengan tema. Seperti contoh di atas, Noorca menuliskan puisi dengan mengangkat tema masalah sosial.
Ingatlah!
Tema adalah ide dasar atau ide pokok yang disampaikan penyair melalui puisinya.

Contoh lain puisi kontemporer :
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguragu ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaiku duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O . . . . .
Karya: Sutardji Calzoum Bachri

Angin Membantai Pucuk-Pucuk Tebu
Bagi Rakyat Desa Negara Sakti
     Di antara tubuh petani yang terbakar, aku melihat kenyataan, sebara
semangat, dan getar perlawanan
pada nasib yang dihinakan. Aku melihat kutukan dan karma kemiskinan:
membekas hangus pada
keningnya yang terbakar. Aku melihat cinta dan harapan, aku melihat
korban penindasan: pada dadanya yang terbakar.
     Angin membantai pucuk-pucuk tebu. Di sana perlawanan itu bermula:
beratus tahun yang lalu,
Petani-petani hina bergerak melawan kebekuan nasibnya, melawan beribu
pertanyaan yang tak kuasa
Dijawabnya. Lawan-lawan-lawan! Cangkul diayunkan, arit disambitkan, guru
dilayangkan, tapi tidak
ke tanah, melainkan ke sana: ke tubuh-kaki-tangan-kepala yang telah
berabad menjajah mereka:
merdeka?
     Beratus tahun sesudahnya, pertanyaan itu tetap sama, anak-cucu-cicit
mereka menerima warisan yang
sama: pemiskinan, pembodohan, dan perlawanan. Siklus kekerasan yang
tak habis-habisnya. Di situ: di
antara miang batang-batang tebu, di antara garang mesin pabrik-pabrik gula,
penjajahan berulang kembali.
Lalu dengan tubuh kurus dan bibir bergetar, dengan melipat rasa takut,
petani-petani miskin
itu berteriak dan bergerak maju: lawan-lawan-lawan! Dan tetap saja peluru-peluru panas itu yang
menjawab pertanyaan mereka: merdeka?
     Di antara tubuh petani yang terbakar, pagi itu, aku melihat sisa spanduk,
cangkul, arit, dan garu dengan bau darah, ya, aku melihat kenyataan:
selongsong peluru, poster-poster dengan tulisan arang, dan sisa teriakan
yang terus terngiang: ”Kembalikan tanah nenek moyang kami!”
Karya: Ahmad Yulden Erwin

Doktorandus Tikus I
selusin toga
                       me
                           nga
                                  nga
seratus tikus berkampus
                                               di atasnya
                  dosen dijerat
profesor diracun
                  kucing
                                  kawin
                                               dan bunting
dengan predikat
                  sangat memuaskan
Karya: F. Rahardi

Halaman Buku
Dari buku
       Tanpa kulit muka
       Tanpa kulit belakang
Inilah
       Selembar halamannya
       Dibuka tangan matahari pagi
       Setelah jari telunjuknya
       Sempat dijilat embun
Jangan tanya
       Mana halaman sebelumnya
Inilah
       Selembar halaman baru
       Terang karena sorot lampu neon
                                     Apa bisamu
                                          Hanya
                                        Menatap
                                            Saja?
                                             ***
                                             . . . .
Karya: Ikranegara


{ 1 comments... read them below or add one }

Misbahul Munir said...

Join blog ane gan...

Post a Comment